Dalam suatu karya ilmiah tertentu, khususnya untuk karya ilmiah yang merupakan hasil penelitian mahasiswa dalam proses penyusunan makalah, skripsi, tesis, bahkan disertasi. Diketahui bahwa dalam laporan penelitian baik itu yang masih berupa proposal maupun sudah menjadi laporan hasilnya. Dalam proposal dan laporan penelitian tersebut, terdapat suatu bagian yang memaparkan kajian terhadap beberapa referensi buku atau pun artikel lainnya sebagai penguatan argumen sendiri. Bagian tesebut biasa dinamakan dengan kajian pustaka
, kerangka teori, atau landasan teori, dalam bagian inilah yang nantinya banyak ditemukan kutipan-kutipan seperti pada penjelasan di postingan admin sebelumnya. Oleh karena itu, berikut salah satu contoh penulisan kajian pustaka:
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hakikat
Puisi
Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling tua. Puisi
termasuk karya sastra, dan semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa
sastra bersifat konotatif karena banyak digunakan makna kias dan makna lambang.
Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi, lebih bersifat
konotatif. Bahasanya lebih banyak mengandung kemungkinan makna. Hal ini
disebabkan terjadinya pengonsentrasian atau pemadatan segenap kekuatan bahasa
dalam puisi. Apabila dilihat dari segi bentuk penulisannya, puisi memiliki
suatu tata wajah atau penampilan khusus di atas kertas, yang biasa disebut
tipografi. Seperti yang dikemukakan oleh Heath Malcolm pada bukunya yang
berjudul Aristotle’s Poetics (1997; http://en.wikipedia.org/wiki/Poetry,
2 Oktober 2009) “poetry is a form of literary
art in which language
is used for its aesthetic and evocative qualities in addition to, or in lieu
of, its apparent meaning.” (Puisi adalah sebuah bentuk
seni sastra dimana di dalamnya menggunakan bahasa bernilai indah dan pembangkit
semangat, atau bahasa yang digunakan sebagai pengganti makna yang tampak/ makna
tersirat).
Pada dasarnya untuk memberikan pengertian puisi secara memuaskan cukup
sulit. Adapun pengertian puisi menurut Waluyo (1987:25) beberapa yang dapat
dirangkum dalam satu kalimat dapat dipaparkan sebagai berikut.
a.
Dalam puisi terjadi pemadatan segala unsur kekuatan
bahasa;
b.
Dalam penyusunannya, unsur-unsur bahasa itu dirapikan,
diperbagus, diatur sebaik-baiknya dengan memperhatikan irama dan bunyi;
c.
Puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan penyair yang
berdasarkan pengalaman jiwa dan bersifat imajinatif;
d.
Bahasa yang dipergunakan bersifat konotatif; hal ini
ditandai dengan kata konkret lewat pengimajian, pelambangan, dan pengiasan,
atau dengan kata lain dengan kata konkret dan bahasa figuratif;
e.
Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan
yang bulat dan utuh, tidak dapat dipisahkan dan merupakan kesatuan yang padu.
Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah unsur-unsurnya hanya dalam
kaitannya dengan keseluruhan. Unsur-unsur itu hanyalah berarti dalam
totalitasnya dengan keseluruhannya.
Selain
itu, unsur-unsur puisi juga melakukan regulasi diri artinya mempunyai saling
keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lain. Jalinan unsur-unsur yang
terdapat dalam struktur fisik dalam membentuk kesatuan dan keutuhan puisi
menyebabkan keseluruhan puisi lebih bermakna dan lebih lengkap dari sekadar
kumpulan unsur-unsur. Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan
perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama,
merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting. Hal ini
dapat dipertegas oleh pernyataan Malcolm (1997; http://en.wikipedia.org/wiki/Poetry,
2 Oktober 2009) yang menyebutkan:
“Poetry often uses particular forms and
conventions to suggest alternative meanings in the words, or to evoke emotional
or sensual responses. Devices such as assonance,
alliteration,
onomatopoeia
and rhythm
are sometimes used to achieve musical or incantatory effects. The use of ambiguity,
symbolism,
irony
and other stylistic elements of poetic
diction often leaves a poem open to multiple interpretations.
Similarly, metaphor,
simile
and metonymy
create a resonance between otherwise disparate images—a layering of meanings, forming connections previously
not perceived. Kindred forms of resonance may exist, between individual verses,
in their patterns of rhyme or rhythm.”
(Puisi sering
menggunakan bentuk-bentuk dan kaidah tertentu untuk menimbulkan alternatif
makna dalam kata-kata, atau untuk menimbulkan respon emosional atau sensual.
Unsur-unsur seperti asonansi, aliterasi, onomatope dan rima kadang kala
digunakan untuk menghasilkan efek musikal atau mantra-mantra. Penggunaan makna
ambigu, simbolis, ironi, dan elemen lain dari diksi puisi sering kali
menyebabkan interpretasi ganda pada sebuah puisi. begitu juga pada metafora,
simile, dan metonimia menghasilkan sebuah bunyi yang berbeda di antara gambaran
sebuah arti yang berlapis, membentuk hubungan yang sebelumnya tidak dirasakan.
Bentuk bunyi yang sama mungkin terjadi di antara syair individu dalam pola
irama)
Dengan demikan,
setiap unsur yang terdapat dalam puisi tersebut memiliki saling hubunga antara
yang satu dengan yang lain untuk terbentuknya suatu kesatuan makna dari sebuah
puisi.
2.1.1
Tema Puisi
Sebelum
membaca puisi, peneliti harus menyadari bahwa makna puisi harus ditafsirkan dan
bukan makna secara langsung yang dapat diketahui. Djojosuroto menambahkan untuk
langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan menafsirkan konteks dalam linguistik
berupa alat-alat linguistik yang secara eksplisit digunakan dalam ujaran
(2005:24). Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata dan hubungan antar
kalimat dalam tiap baris puisi tersebut. Jika hal demikian dilakukan, akan
diperoleh penafsiran yang tidak berbeda dengan maksud penyairnya. Sehingga
pokok pikiran atau tema pada puisi dapat diketahui.
Setiap wacana tentu memiliki tema
atau hal pokok yang menjadi topik pembicaraan, begitu pula pada wacana sastra
khususnya pada puisi juga memiliki tema di dalamnya. Tema puisi adalah gagasan
pokok yang dikemukakan penyair lewat puisinya (Djojosuroto, 2005:24). Tema
puisi biasanya mengungkapkan persoalan manusia yang bersifat hakiki, seperti: cinta
kasih, ketakutan, kebahagiaan, kedukaan, kesengsaraan hidup, keadilan,
kebenaran, ketuhanan, kritik sosial, dan
protes. Tema dapat dijabarkan menjadi subtema atau dapat dikatakan pokok
pikiran.
2.1.2
Nada Puisi
Sebuah puisi dapat menimbulkan suatu
nada tertentu dari pembawaan sikap penyairnya. Nada atau sikap pada puisi
sering dikaitkan dengan suasana. Jika nada berarti sikap penyair terhadap pokok
persoalan (feeling) dan sikap penyair
terhadap pembaca (tone), maka suasana
berarti keadaan perasaan yang ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan lingkungan
yang dapat ditangkap oleh panca indera. Nada berhubungan dengan tema dan
pembaca. Nada yang berhubungan dengan tema menunjukkan sikap penyair terhadap
objek yang digarapnya. Misalnya, penyair menggarap objek seorang perampok,
penyair dapat bersikap simpati, benci, antipati, terharu, dan sebagainya. Nada
yang berhubungan dengan pembaca, misalnya nada menggurui, nada sinis, nada
menghasut, nada santai, nada filosofis, dan lain-lainnya.
Penghayatan pembaca akan nada yang
dikemukakan penyair harus sesuai. Hanya dengan cara demikian tafsiran atas
makna sebuah puisi dapat mendekati ketepatan yang dikehendaki penyair. Cara
menafsirkan puisi diantaranya ialah dengan meninjau bahasa yang digunakan oleh
penyair, yaitu menentukan konteks puisi berdasarkan hubungan kohesi (hubungan
struktur antar kalimat) dan koherensi (hubungan makna antar kalimat). Makna
puisi tidak hanya ditentukan oleh kata dan kalimat secara lepas, akan tetapi
ditentukan oleh hubungan antara kalimat yang satu dengan yang lain baik kalimat
sebelumnya dan sesudahnya (Djojosuroto, 2005:26).
2.1.3
Suasana
Puisi
Dalam puisi diungkapkan perasaan
penyair secara totalitas. Puisi dapat mengungkapkan perasaan gembira, sedih,
terharu, takut, gelisah, rindu, penasaaran, benci, cinta, dendam, dan
sebagainya. Hal ini dimaksudkan, penyair mengerahkan segenap kekuatan bahasa
untuk memperkuat ekspresi perasaan yang bersifat total (Tarigan, 1984:5). Bahasa
memiliki fungsi simbolik, emotif, dan afektif (Suriasumantri, 1985:181;
Djojosuroto, 2005:26). Di dalam puisi, ketiga fungsi bahasa itu dimanfaatkan.
Unsur emotif mendapat porsi yang lebih dominan.
2.2 Struktur Fisik Puisi
2.2.1
Bunyi
Menurut
Pradopo (2007:22-37) bunyi dalam sebuah puisi bersifat estetik, unsur puisi
yang bertugas untuk memberikan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi tidak
hanya berfungsi sebagai hiasan dalam sebuah puisi, juga mempunyai peranan yang
lebih penting, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan
menimbulkan bayangan angan yang jelas, atau menimbulkan suasana yang khusus.
Selain itu, bunyi pada puisi juga digunakan sebagai orkestrasi untuk
menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan bunyi vokal disusun begitu rupa
sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi musik, dari
bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran,
atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya (pembacanya).
Kombinasi-kombinasi
bunyi yang merdu itu biasanya disebut efoni (euphony), atau bunyi yang indah. Orkestrasi bunyi yang merdu ini
biasanya dipergunakan untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau
cinta, serta hal-hal yang meng-gembirakan. Misalnya terlihat pada sajak Soeparwoto
Wiraatmadja berikut ini.
SENANDUNG NATAL
Nyanyi suci di
dalam hati
Mengalun
setanggi sesela hati
Adik mengapa
dikau sendiri
Bersama abang
mari ziarah ke gereja suci
Sunyi hati di
gelap hari
Serangga mati di
nyala api
Kristus
janganlah pergi sertai kami
dalam sepi jalan
sendiri
Dan bulan,
kerinduan yang dalam
menikam nurani
pengembara di perlawatan
Tuhan di
palungan betapa pun kebesaran
Manusia nikmat
tertidur di peristirahatan
Nyanyi suci di
malam sepi
Mengalun hati
diayun setanggi
Adik mari
berlutut di sini
Tuhan hadir bagi
insani
Sunyi suci di
gelap dini
Berayun hati
digetar nyanyi
Dan adik mari
bukakan diri
Kristus
istirahatlah di hati kami
Kristus!
Lindungilah dan berkati
Ajar kami
berendah hati
Dan biarlah
tanganmu suci
di dahi kami
tersilang aman abadi
(Kidung Keramahan, 1963; Apresiasi Puisi,
2005)
Bagi
umat Kristen, malam Natal
adalah malam bahagia untuk merayakan kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus.
Penyair mengajak kekasihnya merayakan malam Natal dengan ziarah ke gereja suci. Kerinduan akan kehadiran Sang Penebus begitu
dalam menikam pengembaraan di dalam
perlawatan. Hal ini tampak pada bunyi-bunyi yang dimunculkan penyair dengan
bunyi vokal i pada kata ziarah dan suci, kesyahduan rindu yang dalam
digambarkan dengan bunyi vokal a berkombinasi dengan bunyi konsonan m dan n
pada kata pengembaraan dan perlawatan.
Di setiap malam Natal
akan terdengar lagu malam sunyi. Di
malam yang gelap dini / digetar nyanyi itu, penyair mengajak
kekasihnya membuka diri agar Kristus masuk ke hati sanubari manusia.
Selain
bunyi-bunyi merdu, dalam sebuah puisi juga dapat ditemukan kombinasi-kombinasi
bunyi yang tidak merdu, parau disebut kakafoni (cacophony). Seperti pada sajak Hamid Jabbar berikut ini.
AROMA
MAUT
Berapa
jarak antara hidup dan mati, sayangku
Barangkali
satu denyut lepas, o, satu denyut lepas
Tepat
saat tak jelas batas-batas, sayangku
Segalanya
terhempas, o, segalanya terhempas!
(Laut
masih berombak, gelombangnya entah ke mana-mana
Angina
masih kembali berhembus, topannya entah ke mana,
Bumi
masih beredar, getarnya sampai ke mana?
Semesta
masih belantara, sunyi sendiri, ke mana?)
Berapakah
jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali
hilir mudik di satu titik
Tumpang-tindih
merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai
tetes embun pun selesai, tak menitik!
(Gelombang
lain datang begitu lain.
Topan
lain datang begitu lain.
Getar
lain datang begitu lain.
Sunyi
lain begitu datang sendiri tak bisa lain!)
(Wajah Kita, 1981; Apresiasi Puisi, 2005)
Puisi
di atas menceritakan bahwa jarak antara hidup dan mati dilambangkan dengan barangkali satu denyut lepas. Penyair
membayangkan kematian itu begitu pasti kedatangannya, tiap manusia yang hidup
di dunia suatu saat akan menghadapi kematian. Perpaduan bunyi yang terdapat
pada larik-larik dalam puisi “Aroma Maut” lebih dominan memperdengarkan
bunyi-bunyi konsonan tak bersuara yang mengesankan bunyi-bunyi kakafoni,
seperti adanya bunyi p, s, t, dan k. Sehingga sebagian besar bunyi-bunyi yang
terdengar begitu parau dan sangat tidak merdu. Hal ini sangat mendukung tema
puisi yang menggambarkan kematian sebagai suatu yang tidak menyenangkan untuk
sebagian besar orang yang hidup di dunia.
Begitulah,
unsur bunyi musik dapat untuk memperdalam arti, memperjelas tanggapan, dan
memperdalam perasaan. Menurut Slametmuljana dalam puisi bunyi kata itu di
samping tugasnya yang pertama sebagai simbol arti dan juga untuk orkestrasi,
digunakan juga sebagai peniru bunyi atau onomatope, lambang suara (klanksymboliek), dan kiasan suara (klankmetaphoor) (Pradopo, 2007:32). Bunyi-bunyi
juga mempunyai suatu simbolik sehingga dengan bunyi-bunyi dapat diciptakan
suasana, perasaan, dan kesan tertentu (Luxemburg, 1992:193). Asosiasi pribadi
turut memainkan peranan dalam penafsiran. Sehingga terjadi onomatope bila suatu bunyi tertentu ditiru, seperti ‘ngiau’,
‘ngeong’, ‘dorr’, ‘crott’, dan lain sebagainya. Jadi Wellek dan Warren (1995:200)
menyimpulkan bahwa onomatope yakni
kelompok kata yang agak menyimpang dari sistem bunyi bahasa pada umumnya. Onomatope disebut juga dengan peniruan bunyi.
Peniru bunyi dalam puisi kebanyakan hanya memberikan saran tentang suara
sebenarnya. Onomatope menimbulkan
tanggapan yang jelas dari kata-kata yang tidak menunjukkan adanya hubungan
dengan hal yang ditunjuk, sebab dalam puisi diperlukan kejelasan. Seperti
peniruan suara tangis manusia yang diasosiasikan menjadi bunyi angin pada
penggalan sajak “Tuhan Telah Menegurmu” karya Apip Mustopa berikut ini.
TUHAN
TELAH MENEGURMU
Tuhan
telah menegurmu dengan cukup sopan
Lewat
perut anak-anak yang kelaparan
Tuhan
telah menegurmu dengan cukup sopan
Lewat
semayup suara adzan
Tuhan
telah menegurmu dengan cukup menahan kesabaran
Lewat
gempa bumi yang berguncang
Deru angin yang meraung-raung kencang
Hujan
dan banjir yang melintang-pukang.
(Laut Biru Langit Biru, 1977; Apresiasi
Puisi, 2005)
2.2.2
Kata
Satuan
arti yang membentuk struktur formal lingustik karya sastra adalah kata. Untuk
mencapai nilai seni pada suatu karya sastra maka pengarang dapat menggunakan
berbagai cara, terutama alatnya yang terpenting adalah kata, karena kata dapat
menjelmakan pengalaman jiwa si pengarang dalam karya yang dihasilkannya.
Menurut Aminuddin (1995:201) gaya
pemilihan kata atau kata-kata dalam karya sastra adalah cara penggunaan kata
atau kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan
nilai estetis tertentu. Jadi, kata memiliki arti dan efek tertentu yang akan
ditimbulkannya. Di antaranya adalah arti denotatif dan konotatif, pemilihan
kata (diksi), bahasa kiasan dan gaya
bahasa, citraan, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata atau
kalimat puisi, yang semuanya dipergunakan penyair untuk melahirkan pengalaman
jiwa dalam sajak-sajaknya. Kata-kata yang telah digunakan oleh penyair ini
disebut kata berjiwa, yang tidak sama artinya dengan kata dalam kamus, yang
harus melalui proses pengolahan. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan
perasaan-perasaan penyair, sikapnya terhadap sesuatu. Kata berjiwa sudah diberi
suasana tertentu.
Kata-kata
dalam tiap sajak merupakan cerminan kepribadian penyair, yaitu suatu bentuk
pengekspresiannya yang bersifat pribadi atau individual. Oleh karena itu,
penyair mempunyai cara sendiri untuk menyampaikan pengalaman jiwanya, misalnya
pada sajak Emha Ainun Najib berikut ini.
PUTIH, PUTIH,
PUTIH
Meratap bagai
bayi
Terkapar bagai
si tua renta
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu
gerbang janji keabadian
Saksikan
beribu-ribu jilbab
….
(Lautan Jilbab, 1989; Apresiasi Puisi,
2005)
Untuk
menggambarkan penyesalannya penyair menggambarkan dirinya meratap bagai bayi, dan menunjukkan ketidakberdayaan manusia di
hadapan Tuhan, penyair menggunakan kata-kata: terkapar bagai si tua renta. Rasa tidak berdaya orang yang sudah
renta, yang tidak sanggup mengerjakan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan
orang lain, lebih terasa konkret dari pada kata “lemah”.
Penggunaan
kata pada puisi populer juga diupayakan untuk menimbulkan efek tertentu dan
melahirkan pengalaman jiwa penyair dalam sajak-sajaknya. Dalam hal ini ditinjau
dari arti kata yang meliputi pemilihan kata (diksi), denotasi dan konotatif, bahasa
kiasan, citraan, serta hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata-kata atau
kalimat puisi, yang semuanya digunakan penyair untuk menggambarkan perasaan dan
pengalaman jiwanya dalam tiap sajaknya. Sama halnya dengan penyair pada
umumnya, mereka yang termasuk penulis puisi populer tentunya mempunyai cara
sendiri untuk menyampaikan pengalaman jiwanya.
2.2.2.1 Pemilihan Kata
Menurut
Pradopo (2007:54-58) pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan
adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung kecakapan sastrawan dalam menggunakan
kata-kata. Kehalusan perasaan sastrawan menggunakan kata-kata sangat
diperlukan. Selain itu, perbedaan arti dan rasa sekecil-kecilnya pun harus
dikuasai pemakaianya. Seorang penyair dapat menggunakan kata-kata kuna yang
sudah mati, tetapi harus dapat menghidupkannya kembali. Oleh karena itu,
penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis
harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan
kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan
puisi (Waluyo, 1987:72). Sejalan dengan Aminuddin (1995:201) yang menyatakan
bahwa gaya
pemilihan kata-kata dalam karya sastra adalah cara penggunaan kata-kata dalam
teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai estetik tertentu.
Jadi, pemilihan kata yang tepat harus dipertimbangkan urutan katanya dan
kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut agar selain makna dalam sebuah
puisi, aspek estetis juga perlu diperhatikan.
Penyair
dalam puisinya terkadang menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa daerah.
Penggunaan kata daerah ini secara estetis harusdapat dipertanggung-jawabkan,
artinya harus dapat menimbulkan efek puitis, atau dimungkinkan dalam bahasa
Indonesia kata-kata itu tidak ada (Pradopo, 2007:52-53). Selain itu penyair
juga biasa menggunakan istilah-istilah atau kata-kata dalam bahasa asing atau
perbandingan asing, serta kalimat-kalimat bahasa asing. Penggunaan kata-kata dalam
bahasa asing ini pun harus dapat memberi efek puitis. Dalam hal ini, penyair
bermaksud agar karyanya dapat dimengerti oleh kalangan luas dan memberi efek
universal. Oleh sebab itu, penggunaan atau perbandingan itu harus sudah dikenal
umum, atau sudah populer. Misalnya pada sajak Rita Oetoro berikut ini.
RAYUAN SERAYU
panjang
berliku-liku – seperti
ular naga –
airmu mengalir turun
dari pegunungan,
baur dalam
“kembang
glepang” tanah pedataran.
panjang
berliku-liku adalah
episode masa
remaja yang jauh
….
panjang
berliku-liku – wahai
dikau serayu –
terpendam kerinduan
sepanjang
hayatku.
(Kawindra, 1994; Apresiasi Puisi, 2005)
“Kembang
glepang” suatu istilah yang digunakan orang Jawa untuk penataan rambut
gadis-gadis Jawa atau pun Bali yang berbentuk
kuncir dan ditambah dengan hiasan berupa bunga melati pada celah-celah pangkal
kunciran rambutnya, gadis yang menggunakan kunciran seperti itu akan terlihat
cantik bagi yang memandangnya. Jadi dalam puisi Rayuan Serayu menggambarkan suatu kenangan indah yang begitu banyak
lika-liku namun tetap terasa manis untuk selalu diingat, selayaknya melihat
gadis yang berambut “kembang glepang”. Oleh karena itu, penggunaan kata-kata
bahasa sehari-hari dapat memberi efek gaya
yang realistis, sedangkan penggunaan kata-kata yang indah dapat memberi efek
romantis.
2.2.2.2 Denotasi dan Konotasi
Kata-kata
yang digunakan dalam dunia persajakan tidak seutuhnya bergantung pada makna
denotatif, tetapi lebih cenderung pada makna konotatif (Tarigan, 1984:29).
Djojosuroto (2005:13) berpendapat bahwa bahasa puisi itu cenderung bersifat
konotatif. Sehingga disimpulkan oleh Pradopo (2007:58-61) bahwa sebuah kata yang
digunakan dalam puisi itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi, ialah
artinya yang menunjuk, dan konotasi, yaitu arti tambahannya. Denotasi sebuah
kata adalah definisi kamusnya atau makna leksikon, yaitu pengertian yang
menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu. Jadi, satu kata itu
menunjuk satu hal. Maka dalam membaca sajak orang harus mengerti arti kamusnya,
arti denotatif, orang harus mengerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang
digunakan. Namun seperti yang telah dikemukakan di atas dalam puisi, sebuah
kata tidak hanya mengandung aspek denotasinya saja. Bukan hanya berisi arti
yang ditunjuk saja, masih ada arti tambahannya, yang ditimbulkan oleh
asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Misalnya sajak Kirjomulyo berikut
ini.
TANJUNG SANGIANG
I
Angin laut jauh
sampai ke atas bukit
dinginnya terasa
sampai ke hati
aku melihat
ujung buih
serupa melihat diri
sendiri
datang dan pergi
(Romansa Perjalanan, 2000)
‘Angin laut’ terasa dinginnya sampai
menembus ke hati. Angin laut adalah udara yang bergerak dari darat ke laut dan
terjadi pada malam hari. Angin itu menyejukkan bahkan bisa terasa sangat sejuk
hingga membuat orang kedinginan sampai kulit terasa kering dan kelu. Apa lagi
angin yang berhembus pada malam hari, pasti akan terasa sangat dingin saat
udara itu menyentuh kulit. Jika angin yang dingin itu berhembus sampai menembus
ke hati pasti akan terasa sangat dingin melebihi saat menyentuh kulit saja,
mungkin seperti mati rasa.
Bahasa
sastra itu penuh arti ganda (ambiguitas), homonim, kategori-kategori arbitraire (mana suka) dan terkesan
tidak masuk akal apabila dilihat dari kepaduan kata-kata yang digunakan dalam
puisi itu. Selain itu bahasa sastra umumnya dan puisi khususnya juga menyerap
peristiwa-peristiwa sejarah, ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi. Bahasa
sastra jauh dari hanya menerangkan saja, tapi juga cenderung menyembunyikan
makna. Bahasa sastra mempunyai segi ekspresifnya, membawa nada dan sikap si
pembicara atau penulis. Jadi, dalam membaca sajak selain harus dipahami secara
leksikonitas, juga harus diperhatikan dan dipahami makna tambahan atau
konotasinya yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi arti denotatifnya.
2.2.2.3 Bahasa Kiasan
Unsur
kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative language). Menurut Aminuddin
(1995:227) kajian retorik memilah figurative
language (bahasa figuratif) menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought: bahasa figuratif yang
terkait dengan cara pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rhetorical figure: bahasa figuratif
yang terkait dengan cara penataan dan
pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat. Pemakaian kiasan oleh penyair
dalam sebuah puisi pada dasarnya bertujuan agar dapat membantu dan merangsang
imajinasi atau daya bayang pembaca untuk melukiskan apa yang sedang dibacanya
itu dalam angan-angan sendiri (Surana, 2001:90). Adanya bahasa kiasan ini
menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan
terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan
atau menyamakan sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran jelas, lebih menarik,
dan hidup. Bahasa kiasan ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam,
mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut
mengaitkan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain
(Pradopo, 2007:62-79). Jenis-jenis bahasa kiasan yang termasuk bahasa figuratif
tersebut adalah perbandingan (simile),
metafora, perumpamaan epos (epic simile),
personifikasi, metonimi, sinekdoki (synecdoche),
dan allegori.
1) Perumpamaan (Simile)
Perumpamaan
adalah kiasan yang tidak langsung atau yang disebut dengan perbandingan
(Waluyo, 1987:84). Perumpamaan ini dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana
dan paling banyak digunakan dalam sajak. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada
bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti laksana, bagaikan, bak,
layaknya, seumpama, serupa, semisal dan sebagainya. Misalnya pada sajak Kirjomulyo
berikut ini.
ROMANSA
KECAPI SUNDA
….
Jalanan
waktu serupa jalanan alam
melingkar,
membelit serupa hati
lincah
seperti musim
sebulan
membunga, sebulan menghijau
lain
saat menguning
….
(Romansa Perjalanan, 2000)
Jalanan
waktu diumpamakan serupa atau sama dengan jalanan alam yang terus melingkar dan
membelit layaknya hati serta lincah seperti musim yang terus berganti sesuai
dengan perubahan iklim udara.
2) Metafora
Metafora adalah kiasan langsung,
artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan (Waluyo, 1987:84). Metafora
itu melihat sesuatu dengan perantaraan atau diungkapkan dengan benda yang lain,
contohnya: tangan kanan (orang kepercayaan), raja siang (matahari), putri malam
(bulan), bunga bagsa (pahlawan), dan lain sebagainya). Jadi, metafora ini
menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang
sesungguhnya tidak sama. Misalnya dalam sajaknya yang berjudul “Aku” dalam
kumpulan puisinya Kerikil Tajam, Chairil Anwar menyamakan dirinya dengan
binatang jalang yang bebas, tidak memiliki ikatan, dan tak dibatasi oleh apa
pun, dalam hal ini Chairil Anwar dalam berkarya tidak memerhatikan cara atau
aturan lama, seperti berikut.
Aku
ini binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term) (Pradopo, 2007:66-67).
Term pokok disebut juga tenor, term
kedua disebut juga vehicle. Term
pokok atau tenor menyebutkan hal yang
dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle
adalah hal yang membandingkan. Misalnya ‘Aku’ ini ‘binatang jalang’: ‘Aku’ adalah
term pokok, sedang ‘binatang jalang’ term kedua atau vehicle. Namun seringkali penyair langsung menyebutkan term kedua
tanpa menyebutkan term pokok atau tenor.
3) Perumpamaan Epos
Perumpamaan
(epic simile) ialah perbandingan yang
dilanjutkan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan
sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frase-frase
yang berturut-turut (Pradopo, 2007:69). Terkadang
kelanjutan perbandingan ini sangat panjang. Dapat dilihat sajak Sapardi Djoko
Damono berikut.
DONGENG
MARSINAH
….
Marsinah
itu arloji sejati,
tak
telah berdetak
memintal
kefanaan
yang
abadi:
“kami
ini tak banyak kehendak,
sekedar
hidup layak,
sebutir
nasi.”
(Ayat-ayat Api, 2000)
Dalam
penggalan sajak di atas penyair mengumpamakan ‘engkau’ ini seperti kolam dan
melanjutkannya gambaran tentang engkau ‘engkau’ ini layaknya kolam yang berada
di tengah-tengah belukar atau semak. Ditambah lagi dengan perbandingan
‘beriak-riak tenang’, ‘membiarkan nyiur sepasang’, bercerminkan diri ke dalam
airmu…’. Sehingga semakin jelas apa yang digambarkan penyair dalam puisinya. Jadi,
guna perumpamaan epos ini pada dasarnya seperti perumpamaan juga, yaitu untuk
memberi gambaran yang jelas, hanya saja perumpamaan epos dimaksudkan untuk
lebih memperdalam dan menandaskan sifat-sifat pembandingnya, bukan sekedar
memberikan persamaannya saja.
4) Allegori
Allegori
ialah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan (Pradopo, 2007:71). Cerita kiasan
atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Allegori ini
banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun pada waktu sekarang
banyak juga terdapat dalam sajak-sajak Indonesia modern. Allegori ini
sesungguhnya metafora yang dilanjutkan. Misalnya dapat dilihat pada sajak
Kirjomulyo berikut ini.
BUAT
H. B. JASSIN
Dalam
kemenangan keselip kekalahan
siapa
terlalu memilih
akan
datang di tanah pasir
Dalam
kekalahan keselip kemenangan
siapa
terlalu memilih
akan
datang di tanah batu
Kita
lahir dan menerima sekali waktu
alam
cinta, tangis dan harap
Kita
hadir dan menerima sekali saat
kemenangan
dan kekalahannya
Hanya
dalam sadar dan yakin
dari
keduanya, lahirlah mesra
(Romansa Perjalanan, 2000)
5) Metonimia
Metonimia
adalah bahasa kias yang mempergunakan sebuah kata atau kalimat untuk menyatakan
sesuatu, karena mempunyai pertautan yang dekat dan relasional (Djojosuroto,
2005:19). Dalam pola-pola kontiguitas tiada relasi kesamaan, melainkan relasi
kebertautan unsur, atau pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengganti
pengertian lain yang berdekatan. Kaitan-kaitan tersebut berdasarkan berbagai
motivasi, misalnya karena ada hubungan kausal, logika, hubungan waktu atau
ruang. Hal ini diperjelas oleh Hartoko (1992:189) yang menyatakan bahwa
kasus-kasus metonimia ialah akibat digantikan sebab, isi diganti wadah. Satu contoh sajak “Bercerai” karya Chairil
Anwar berikut ini.
JARING-JARING
Kali ini
Nelayan menebar
jaring di laut
Menangkap ikan
Kali lain
Tuhan menebar jaring
maut
Menangkap insan.
(Biarkan Angin Itu, 1996; Apresiasi
Puisi, 2005)
Kata-kata
‘jaring maut’ dalam penggalan puisi di atas berperan menggantikan sesuatu
kekuasaan Tuhan yang terwujud dalam kasih dan sayang Tuhan terhadap umatNya.
Tuhan ingin mengumpulkan manusia untuk kembali kejalan yang benar. Jadi,
metonimi digunakan untuk menggambarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang
dapat mewakili sifat yang digantikan atau digambarkan.
6) Personifikasi
Personifikasi
adalah bahasa kiasan yang menggambarkan keadaan atau peristiwa alam sering
dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia (Waluyo,
1987:85). Menurut Djojosuroto (2005:18) personifikasi adalah jenis bahasa kias
yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dapat berbuat,
berpikir sebagaimana seperti manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
personifikasi adalah bahasa kias yang melukiskan benda-benda mati seolah-olah
seperti manusia. Di bawah ini beberapa contoh personifikasi.
PULANG MALAM
Dan hari pun
telah silam
daunan berhenti
menderai
tidur dan tidur
hanya bulan memanjat bukit
(Kirjomulyo, Romansa Perjalanan, 2000)
DI DEPAN PINTU
di depan pintu:
bayang-bayang bulan
terdiam di
rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang
mengajaknya pergi
menghitung jarak
dengan sunyi
(Sapardi Djoko
Damono, Ayat-ayat Api, 2000)
7) Sinekdoki (synecdoche)
Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang
menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan
untuk maksud sebagian (Waluyo, 1987:85). Dalam hal ini Pradopo (2007:78-79)
menggolongkan sinekdoki ini terdiri dari dua macam, yaitu: (1) pars pro toto: sebagian untuk keseluruhan,
contohnya: hari depan Indonesia adalah
dua ratus juta mulut yang menganga, masa depan Indonesia yang diramaikan oleh
orang-orang yang kesulitan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dikiaskan dengan bagian anggota tubuh yakni mulut yang menganga seperti orang
kelaparan atau kehausan, (2) totum pro
parte: keseluruhan untuk sebagian, contohnya: pergi ke dunia luas/ anakku sayang/ pergi ke hidup bebas, perintah
sang ibu kepada anaknya untuk dapat hidup mandiri di luar rumah dikiaskan
dengan kehiduan yang luas yang ada di dunia luar.
Selain
bahasa-bahasa figuratif di atas, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya
bahwa unsur kepuitisan dengan menggunakan bahasa kiasan juga didukung dengan
adanya sarana retorika atau disebut juga gaya
bahasa (rhetorical figure). Menurut
Aminuddin (1995:227) sarana retorika atau gaya
bahasa yang digunakan oleh penyair dalam puisinya adalah bahasa figuratif yang
terkait dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat.
Dengan adanya sarana retorika dalam sebuah puisi ini dapat menimbulkan reaksi
tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.
Tiap
pengarang mempunyai gaya
bahasa sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing
pengarang. Meskipun tiap pengarang mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan
pikiran, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa
digunakan.
Sarana
retorika itu bermacam-macam, namun setiap periode atau angkatan sastra itu
mempunyai jenis-jenis sarana retorika yang digemari, bahkan setiap penyair itu
mempunyai kekhususan dalam menggunakan dan memilih sarana retorika dalam
sajak-sajaknya. Meskipun begitu, tetapi untuk puisi-puisi modern atau pun puisi
populer juga masih dapat ditemukan berbagai gaya bahasa dalam tiap lariknya. Beberapa
sarana retorika yang biasa terdapat dalam suatu sajak adalah pleonasme,
enumerasi, pararelisme, retisense, hiperbola, dan paradoks.
Pleonasme (keterangan berulang) ialah
sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua
sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama (Pradopo, 2007:95). Dengan
cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca
atau pendengar. Misalnya: naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah, tinggi
membukit, jatuh ke bawah, raih menjulang menggapai bukit, terbang melayang
mencapai langit, luka menoreh menusuk perih, duka menyeruak menghapus suka.
Enumerasi (penjumlahan) ialah sarana retorika yang berupa
pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal
atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar (Pradopo,
2007:96). Dengan demikian suatu pernyataan atau keadaan, memberi intensitas.
Seperti sajak Kirjomulyo berikut ini.
APRIL
Kenangan buat Lorca
Secepat
kedatangan bulan April
cintaku kembali
dalam diri
membersit,sewarna
hijau alam
melingkar,
sebulat bulan sabit
Langkahku
memberat menciptakan bumi
girang melonjak
mengatasi hati
berpecahan di
atas kota hati
pada hati dan
hati, pada wajah dan wajah
Tiada terasa dan
tiada bermaksud
aku menjerit
sejauh angin menderai
Lorca, ‘ku ingat
padamu
Hijau alammu
sehijau alamku
….
(Romansa Perjalanan, 2000)
Bait kedua itu
merupakan enumerasi (penjumlahan): girang yang dirasakan sampai bertebaran di kota sampai ke desa,
bahkan dapat dirasakan oleh hati-hati yang lain dan semua orang dapat
melihatnya.
Pararelisme (persejajaran) ialah mengulang
isi kalimat yang maksud dan tujuannya serupa. Slametmuljana menambahkan bahwa
sarana retorik yang dalam penataan kata-katanya menggunakan gaya pararelisme dalam puisi yakni kalimat
yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang
mendahului. (Pradopo, 2007:97). Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono
berikut ini.
SUNYI YANG LEBAT
sunyi yang
lebat: ujung-ujung jari
sunyi yang
lebat: bola mata dan gendang telinga
sunyi yang
lebat: lidah dan lubang hidung
sunyi yang
dikenal: sebagai hutan pohon-pohon roboh
margasatwa membusuk di
tepi sungai kering, para
pemburu mencari jejak
pencaindra…
(Ayat-ayat Api, 2000)
Pengulangan
bunyi pada larik yang berbunyi ‘sunyi yang lebat’ pada baris ke-1, ke-2, dan
ke-3 ini bertujuan mempertegas suasana sepi yang ingin dirasakan penyair saat
itu. Kesepian itu seperti semak yang tumbuh lebat, menjalar ke ujung-ujung jari, … bola mata dan gendang telinga, sampai ke …lidah dan ujung hidung. Sehingga kesendirian yang dialami penyair
begitu terasa nyata. Jadi, tujuan penyair mengulangi kata sunyi pada baris pertama ingin menunjukkan betapa sepi dan
sendirinya ia ketika itu.
Selain
gaya bahasa
yang menunjukkan adanya penegasan dengan menggunakan pengulangan atau pun
penjumlahan kata-kata, dalam puisi juga terdapat sarana yang menggunakan titik-titik banyak untuk mengganti
perasaan yang tidak terungkapkan. Sarana retorik semacam ini dikatakan oleh
Pradopo (2007:97) adalah retorik
retisense. Pada umumnya penyair romantik banyak menggunakan sarana retorika
ini, lebih-lebih sajak romantik remaja banyak menggunakannya. Seperti sajak
karya J.E. Tatengkeng “Kusuka Katakan” (1974:19; Pengkajian Puisi, 2007:97)
berikut ini.
Kupandang bayang
melompat-lompat,
Di padang rumput;
Kulihat daun
bergerak cepat ……
O, kusuka sebut
……
Apalah warna
mainan gerak,
Dan bisikan
angina sayup gelak;
Tapi sukma masih
ngeram
Dan diam di
dalam ……
Oh, jangan kau
paksa
Melahirkan rasa!
Biarlah aku
menderita
Menanti ketika
……
Hiperbola adalah kiasan yang dalam
mengungkapkan sesuatu maksud atau hal apa pun secara berlebihan (Waluyo,
1987:85). Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar
mendapatkan perhatian yang lebih seksama dari pembaca. Seperti pada sajak Emha Ainun Najib berikut
ini.
PUTIH, PUTIH,
PUTIH
Meratap bagai
bayi
Terkapar bagai
si tua renta
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu
gerbang janji keabadian
Saksikan beribu-ribu jilbab
Hai! Bermilyar-milyar jilbab!
Samudera putih
Lautan cinta
kasih
Gelombang
sejarah
Pengembaraan
amat panjang
Di padang Mahsyar
Menjelang hari
perhitungan
Seribu galaksi
Hamparan jiwa
suci
Bersujud
Putih, putih,
putih
Bersujud
Menyeru belaian
tangan kekasih
Bersujud
Dan alam raya
Jagad segala
jagad
….
(Lautan Jilbab,
1989; Apresiasi Puisi, 2005)
Paradoks adalah sarana retorika yang
menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh
dipikir dan rasakan (Pradopo, 2007:99). Seperti: siang yang berselimut malam,
ini sebuah kiasan yang artinya di siang (keceriaan) hari tetapi terasa gelap
(tidak menyenangkan) karena tertutup langit malam (kesedihan), dalam kemenangan
keselip kekalahan (sebelum dapat meraih kemenangan, seseorang pasti pernah
mengalami kekalahan).
Bahasa
kiasan menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna
atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Oleh karena itu, bahasa kiasan
seringkali digunakan oleh penyair karena dianggap lebih efektif untuk
menyatakan atau mengungkapkan maksud penyair karena bahasa kias mampu
menghasilkan kesenangan imajinatif dan memberi imaji tambahan dalam puisi.
Sehingga yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan puisi lebih enak dinikmati
pembaca. Selain itu, bahasa kias juga berpengaruh pada intensitas pengungkapan
perasaan penyair untuk puisinya dan dapat mengonsentrasikan makna puisi yang
luas dengan bahasa yang singkat.
2.2.2.4 Citraan
Pencitraan
atau pengimajian adalah pengungkapan pengalaman sensoris penyair ke dalam kata
dan ungkapan, sehingga terjelma gambaran yang lebih konkret. Sehingga untuk
memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk
membuat lebih hidup gambaran dan pikiran serta penginderaan dalam sebuah puisi
yang dimaksudkan untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan
gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping alat kepuitisan yang lain.
Menurut Waluyo (1987:78) citraan atau pengimajian dapat dibatasi dengan
pengertian berikut: kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Dengan
demikian, orang harus mengerti arti kata-kata, yang dalam hubungan ini juga
harus dapat mengingat sebuah pengalaman inderaan objek-objek yang disebutkan
atau diterangkan, atau secara imajinatif membangun semacam pengalaman di luar
hal-hal yang berhubungan sehingga kata-kata akan secara sungguh-sungguh berarti
kepada pembaca atau pendengarnya. Jadi, dengan adanya citraan dapat lebih
mengingatkan kembali dari pada membuat baru kesan pikiran, sehingga pembaca
terlibat dalam kreasi puitis. Maka pembaca akan mudah menanggapi hal-hal yang
dalam pengalamannya telah tersedia simpanan imaji-imaji yang kaya.
Seperti
yang telah dijelaskan di atas gambaran-gambaran angan atau pengimajian itu ada
bermacam-macam, yaitu dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran,
perabaan, pengecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan
gerakan. Berdasarkan hal itu, Pradopo (2007:81) menggolongkan citraan menjadi
beberapa jenis, antara lain citraan yang ditimbulkan oleh penglihatan (visual imagery), yang ditimbulkan oleh
pendengaran disebut citra pendengaran (auditory
imagery) dan sebagainya. Gambaran-gambaran angan yang bermacam-macam itu
tidak digunakan secara terpisah-pisah oleh penyair dalam sejaknya, melainkan
digunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya.
Citra
penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal
yang tidak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Misalnya pada penggalan sajak Sapardi
Djoko Damono berikut ini.
TIGA SAJAK
RINGKAS TENTANG CAHAYA
Cahaya itu, yang
sesat
di antara
pencakar langit,
sia-sia mencari
baying-bayangnya.
(Ayat-ayat Api, 2000)
Citraan
pendengaran itu dihasilkan dengan menguraikan bunyi suara. Penyair yang banyak
menggunakannya disebut penyair auditif. Citraan pendengaran seringkali berupa
onomatope. Misalnya pada penggalan sajak Rendra berikut ini.
SURAT CINTA
Kutulis
surat cinta ini
kala
hujan gerimis
bagai
bunyi tambur main
ank-anak
peri dunia yang gaib.
Dan
angin mendesah.
Wahai,
dik Narti,
aku
cinta kepadamu!
(Empat Kumpulan Sajak, 1961; Apresiasi
Puisi, 2005)
Meskipun
jarang digunakan seperti citra penglihatan dan pendengaran, citra perabaan (tactile thermal imagery) juga banyak digunakan oleh para penyair. Misalnya
dapat dilihat pada sajak Subagio Sapardi Djoko Damono berikut ini.
KAMAR
ketika
kumasuki kamar ini
pasti
dikenalinya kembali aku
suara
langkahku, nafasku
dan ujung-ujung jari yang dulu menyentuhnya
(Ayat-ayat Api, 2000)
Citraan
yang begitu jarang dipergunakan ialah citraan penciuman dan pengecapan. Namun
sebagai contoh dapat dilihat sajak berikut ini.
Penciuman:
DI KUBURAN
hanya bebauan daunan busuk
dan serak batuan
sekitar samara
(Chairil Anwar, Mencari Makna, 2005)
Pengecapan:
SENJA DI JALAN
PASEH
Seperti yang
mendesak dalam diri
begitu manis, berat dan membasah
berwajah sejernih
hati perawan
berdaun sejauh
laut subuh
(Kirjomulyo, Romansa Perjalanan, 2000)
Ada juga citraan gerak (movement imagery atau kinaesthetic imagery). Imaji ini
menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan
seperti dapat bergerak. Citraan gerak ini membuat hidup dan gambaran jadi
dinamis. Misalnya pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut ini.
AKU TENGAH
MENANTIMU
aku tengah
menantimu, mengejang bunga randu alas
di pucuk kemarau
yang mulai gundul itu
berapa juni saja menguncup dalam diriku dan
kemudian layu
(Ayat-ayat Api, 2000)
Di
bawah ini penyair mengggunakan bermacam-macam citraan secara bersama-sama.
Misalnya pada sajak berikut.
TROMPET
Terompet dilengkingkan napas nestapa
bagai pekik elang tua
membuat garis di
pasir pantai
Bau pandan di sepi malam
duri-durinya menyuruk di daging.
Amboi, aroma daun pandan!
Amboi amis darah dan daging!
Nestapa!
Maha duka!
Didambakannya
dahlia dua tangkai,
burung-burung
dua pasang,
emas fajar yang pertama.
Nestapa! Maha
duka!
Menyepak-nyepak dalam dada
buyar napas isi
rasa
lepas lewat
kerongkongan tembaga.
Terompet dilengkingkan napas nestapa.
Arwah leluhur
mencekik malam dena
(Empat Kumpulan Sajak, 1978; Pengkajian
Puisi, 2007)
Penyair
menggunakan banyak menggunakan imaji auditif seperti: ‘terompet dilengkingkan’
dan pekik elang’. Kata-kata ‘bau pandan’, ‘aroma daun pandan’, dan ‘amis darah
dan daging’ merupakan pengimajian penciuman. Imaji perabaan terdapat pada baris
ke-5 yang berbunyi ‘duri-durinya menyuruk di daging’. Penyair juga mengimajikan
citra penglihatan pada puisinya contohnya ‘emas fajar yang pertama’. Selain itu
ada pula diselipkan citra gerak yakni pada baris-baris terakhir yang berbunyi
‘menyepak-nyepak dalam dada’.
Untuk
memberi suasana khusus dan memberi gambaran suatu tempat secara jelas penyair
menggunakan kesatuan citra-citra yang
masih dalam satu ruang lingkup. Ada
kalanya penyair juga menggunakan imaji-imaji pedesaan, alam, dalam
sajak-sajaknya, atau dapat juga dengan menggunakan imaji yang memberi gambaran
tentang citra-citra kekotaan dan khidupan modern. Misalnya pada sajak Agnes Sri
Hartini Arswendo yang berikut ini. Penyair menggunakan imaji yang menggambarkan
citra-citra pedesaan dan alam.
DARI JENDELA
Dari jendela
kaca kereta Senja kusaksikan
anakku berlari
menerobos sawah dan kali
berjalan di
atas batang padi
dengan
longdress putih dan sayap bidadari
hujan turun
dan kabut tebal sekali
itu semua tak
menahan penglihatanku lewat kaca
itu semua tak
menahan kemauannya menari
–
ia tak menoleh ke arahku
tapi aku pasti
ia tampak
girang sekali
bermain-main
di tempat tanpa batas
Dari jendela
kaca kereta Senja kusaksikan
wajah sendiri
tergeletak di
antara sawah, kali, dan batang padi.
(Batang Padi IV, 1987; Apresiasi Puisi,
2005)
Puisi di atas
menggambarkan hal-hal yang cenderung ditemui di pedesaan, misalnya sawah, kali,
batang padi, suasana alam berkabut. Sedangkan imaji-imaji kekotaan dan
kehidupan dunia modern dapat dilihat pada sajak Sapardi Djoko Damono berikut.
IKLAN
Ia penggemar berat iklan. “Iklan itu sebenar-benar
hiburan,” kata
lelaki itu. “Siaran berita dan cerita itu
sekedar
selingan.” Ia tahan seharian di depan televise.
istrinya suka
menyediakan kopi dan kadang-kadang
kacang atau
kentang goreng untuk menamaninya
mengunyah
iklan.
Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika
ia
menirukan lagu
iklan supermi – kepalanya bergoyang-
goyang dan
matanya berbinar-binar. Anak lelakinya
sering
memandangnya curiga jika ia tertawa melihat
badut itu
mengiklankan sepatu sandal – kakinya digerak-
gerakkannya ke
kanan-kiri. Dan istrinya suka tidak
paham jika ia
mendadak terbahak-bahak ketika
menyaksikan
iklan tentang kepedulian sosial itu – dua
tangannya
terkepal dan dihentak-hentakkannya.
Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu;
konon yang
terakhir
diucapkannya sebelum “Allahuakbar” adalah
“Hidup Iklan!”
sejak itu istrinya gemar duduk di depan
televisi,
bersama-sama anak-anaknya, menebak-nebak iklan
mana gerangan
yang menurut dokter itu telah
menyebabkan
begitu bersemangat sehingga
jantungnya
mendadak berhenti.
(Ayat-ayat Api, 2000)
Penyair
secara jelas mengimajikan suasana kota, dan kehidupan modern yang ditampilkan
itu tergambar dari kata-kata dalam puisinya, seperti ‘televisi’, ‘iklan’,
‘kentang goreng’, ‘dokter’, dan ‘badut’ yang kata-kata tersebut cenderung
menggambarkan kehidupan modern di kota. Jadi, sajak yang menunjukkan adanya
kesatuan citraan membuat jelas dan memberi suasana khusus. Seperti sajak di
bawah ini, citra-citranya menunjukkan citraan kesedihan. Misalnya pada sajak
Kirjomulyo berikut ini.
DUKA
Di ujung malam
orang hendak
melupakan duka
Ke mana duka
akan terlempar
datangnya
serupa hari
serupa ada
serupa tak ada
(Romansa Perjalanan, 2000)
Citraan
yang terdapat dalam sajak di atas menggambarkan atau menunjukkan perjalanan
hidup anak manusia yang tidak dapat diketahui kapan berakhir, hal ini terlihat
jelas pada korespondensi kata-kata yang dipilih. Namun perlu juga sajak-sajak
yang tidak menunjukkan kesatuan citraan akan menyebabkan makna atau gambaran
puisi menjadi gelap, karena tidak adanya saling hubungan antara kata yang satu
dengan kata yang lain atau antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.
2.2.3
Irama
Satu
hal yang masih erat hubungannya dengan pembicaraan bunyi adalah irama.
Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi
menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gercik air yang mengalir turun tak
putus-putus. Gerak yang teratur itulah yang disebut irama. Irama dalam bahasa
adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa
yang teratur. Irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah
tetap menurut pola tertentu. Sedangkan ritme adalah irama yang disebabkan
pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak
merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang
sukma penyairnya.
Dalam
puisi timbulnya irama itu karena perulangan bunyi berturut-turut dan
bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena
adanya pararelisme-pararelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait.
Selain itu, disebabkan pula oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras
lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang-pendek
kata, atau kelompok-kelompok sintaksis berupa gatra atau kelompok kata.
Pada
puisi-puisi Indonesia,
puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada. Apabila terdapat
metrum, maka bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan-buatan penyair-penyair
pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Sebenarnya yang
mempunyai metrum adalah pantun dan syair. Hal ini disebabkan jumlah suku kata
yang cenderung tetap dalam tiap baris baitnya dan oleh persajakan (tengah dan
akhir) yang tetap.
Begitu
juga dalam sajak-sajak Pujangga Baru kelihatan seperti mempunyai metrum karena
bentuknya yang teratur rapi dan jumlah suku kata yang cenderung tetap. Misalnya
sajak karya Amir Hamzah ini.
DOA POYANGKU
Poyangku rata
meminta sama
Semoga sekali
aku diberi
Memetik kecapi
, kecapi firdusi
Menampar
rebana, rebana swarga
….
Para penyair sesungguhnya lebih memerhatikan ritme pada
puisinya. Ritme ini didasari oleh adanya pertentangan bunyi, membuat
perulangan, juga untuk membuat irama itu penyair juga dapat melakukannya dengan
menyingkat kata, misalnya hadir menjadi dir, hendak menjadi nak, atau manusia
menjadi nusia. Memilih kata yang cocok bunyinya: pitunang poyang, habis kikis,
atau selaras dengan kata yang dikombinasikan itu, dan sebagainya. Dengan adanya
irama itu, selain puisi terdengar merdu, mudah dibaca, juga hal ini menyebabkan
aliran perasaan ataupun pikiran yang tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga
menimbulkan bayangan angan (imaji-imaji) yang jelas dan hidup. Hal ini
menimbulkan juga adanya pesona atau daya magis hingga melibatkan para pembaca
atau pendengar ke dalam keadaan extase
(bersatu diri dengan objeknya).
Puisi
yang merdu bunyinya dikatakan melodius: berlagu seolah-olah seperti nyanyian
yang mempunyai melodi. Misalnya seperti sajak M. Yamin berikut ini.
Tanahku
bercerai seberang-menyeberang
Merapung
di air, malam dan siang
Sebagai
telaga dihiasi kiambang
Sejak
malam diberi kelam
Sampai
purnama terang-benderang
Di
sanalah bangsaku gerangan menopang
Selama
berteduh di alam nan lapang
(Indonesia
Tanah Darahku, Tonggak I, 1987;
Apresiasi Puisi, 2005)
Melodi
adalah panduan susunan deret suara yang teratur dan berirama. Melodi itu timbul
karena pergantian nada kata-katanya, tinggi rendah bunyi yang berturut-turut.
Bedanya melodi nyanyian dengan puisi ialah terletak pada macam bunyi (nada)
yang terdapat pada sajak itu tidak seberapa banyak dan intervalnya (jarak nada)
juga terbatas. Irama, metrum, dan melodi itu bekerja sama dalam sajak hingga
membentuk kesatuan yang bercorak indah.
Dalam
berdeklamasi, irama puisi ini dapat tercipta dengan tekanan-tekanan, jeda
(waktu yang dipergunakan deklamator untuk perhentian suara). Deklamator atau
tris harus memerhatikan irama puisi itu sebab tiap-tiap puisi membawa iramanya
sendiri-sendiri. Dalam melodisasi puisi, irama puisi itu pun sudah menentukan
lagunya. Selain itu, irama dan ketepatan ekspresi dalam berdeklamasi didapatkan
dengan mempergunakan tekanan-tekanan pada kata. Ada tiga jenis tekanan, yaitu tekanan
dinamik, tekanan nada, dan tekanan tempo. Tekanan dinamik ialah tekanan pada
kata yang terpenting, menjadi sari kalimat dan bait sajak. Tekanan nada ialah
tekanan tinggi (rendah). Perasaan girang dan gembira, perasaan marah, keheranan
sering menaikkan suara, sedang perasaan sedih merendahkan suara. Tekanan tempo
ialah lambat cepatnya pengucapan suku kata atau kata dan kalimat.
Dalam
seni sastra khususnya sajak, irama membuat rangkaian kata-kata seolah-olah
hidup dan bernyawa (Surana, 2001:25). Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita
jumpai irama, dengan irama kita berbicara, berbaris, bernyanyi, menumbuk padi,
menari, dan sebagainya. Irama itu mendatangkan rasa senang, walaupun juga dapat
menimbulkan rasa mencekam. Irama yang tetap dan beraturan timbulnya di dalam
puisi disebut kaki sajak. Tiap-tiap larik terbagi atas dua alun irama.
Perhentian di antara dua alun itu disebut cesura.
Cesura itu digambarkan dengan garis miring (/). Misalnya dapat dilihat pada
kutipan puisi “Doa Poyangku” Amir Hamzah dibawah ini.
Poyangku
rata / meminta sama
Semoga
sekali / aku diberi
Memetik
kecapi / kecapi firdusi
Menampar
rebana / rebana swarga
Dua alun irama
ini dalam puisi sangat penting. Sastrawan-sastrawan modern tidak mau lagi
menggunakan puisi berdasarkan dua alun suara ini, sama halnya dengan puisi-puisi
populer juga telah mengabaikannya. Mereka lebih bebas dan mementingkan keutuhan
pengertian, bukan ikatan alun irama.
Dalam seni sastra Barat, irama itu
dinyatakan dengan tanda (-) yang disebut arsis,
untuk suku kata yang mendapat tekanan keras (panjang). Sedangkan kata yang
mendapat tekanan lunak (pendek) dinyatakan dengan tanda (^), yang diberi nama thesis. Berikut dapat dilihat pada
kutipan puisi “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo” Rendra sebagai berikut.
- ^
- ^ - ^ ^ ^
- ^
- ^ -
^ ^ ^
Dengan
kuku-kuku besi, kuda menebah perut bumi
-
^ ^ ^ -
^ -
^ - -
^ ^ -
^ ^ ^
- ^ -
^ - ^
Bulan
berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya pada pucuk-pucuk para
^
- ^ - - -
- - ^
^ - ^
^ - ^ ^ -
^
Mengepit kuat-kuat lutut penunggang
perampok yang diburu
-
^ - ^
- - -
^ ^ ^ - -
^ - ^
Surai bau
keringat basah jenawipun telanjang
Kata-kata yang
mendapat penekanan pada tiap baris larik di atas ditandai dengan pelantunan
irama bertekanan lembut (rendah) seperti: kuku-kuku besi dan perut bumi.
Nama-nama
yang membentuk kaki puisi yaitu: 1) / ^ - / ^ - / (jambe),
2) / ^ ^ - / ^ ^ - / (anapes), 3) / -
^ / - ^ / (troacheus), dan 3) / - ^ ^
/ - ^ ^ / (dactylus). Suku kata dalam
jambe bervariasi, ada yang diberi tekanan dan ada yang tidak. Ada yang bertekanan keras dan lembut. Pada
troacheus, tekanan keras terdapat pada suku kata pertama. Pada daktylus,
tekanan terdapat pada awal baris, dan selanjutnya diselingi dua suku kata tidak
bertekanan. Pada anapest tekanan dimulai pada suku kata ketiga dan pada awal
kata tidak bertekanan (Waluyo, 1987:96).
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa puisi modern termasuk puisi populer dinyatakan bahwa lebih
mementingkan makna dari pada alun irama. Namun pada tiap larik puisi tetap
mempunyai irama dalam setiap pembacaannya. Jadi, dalam puisi populer perulangan
bunyi dan tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh
konsonan dan vokal atau panjang pendek kata, juga disebabkan adanya kelompok
sintaksis dapat menimbulkan irama. Seperti halnya puisi pada umumnya, puisi
populer dengan metrum tertentu cukup sulit ditemukan. Namun jika ada metrum itu
hanya buatan-buatan penyair-penyair secara pribadi yang tentunya berbeda satu
dengan lainnya, tanpa aturan dan patokan tertentu.
2.3 Puisi Populer
Mahayana (2005:319) menyatakan bahwa
lahirnya kesadaran untuk membebaskan kebudayaan dari hegemoni dan dominasi ideologis,
telah memunculkan gugatan banyak pihak atas kategorisasi dikotomis kebudayaan
tinggi (high culture) dan kebudayaan
rendah (low culture). Kategorisasi
ini menciptakan kelas yang berbeda terhadap sastra dalam studi kebudayaan.
Kebudayaan tinggi yang melahirkan karya-karya sastra serius yang dianggap
sebagai karya bermutu. Sedangkan kebudayaan rendah yang melahirkan karya-karya
sastra populer, tidak jarang justru menjadi opini publik karena penyajiannya
kurang memberikan gagasan baik dari segi tematik maupun nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, sehingga sastra populer seringkali dianggap sebagai
karya sastra yang bermutu rendah.
Namun apakah puisi populer menjadi
lebih buruk dibandingkan dengan puisi klasik atau puisi serius? Hal ini tentu
saja bergantung kepada siapa yang menilai dan motivasi saat menulisnya.
Meskipun idiom-idiom yang digunakan dalam sebuah puisi yang akan membedakan
aliran itu, tetapi puisi populer justru banyak digemari. Faktor utamanya karena
sanggup memenuhi kebutuhan perasaan banyak orang. Oleh karena itu, puisi
populer menjadi bagian dari pergaulan masyarakat, sebab puisi populer mampu
relevan dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang luas, sehingga
eksistensinya pun dapat bersentuhan langsung dengan masyarakat umum (Haidy,
Sam. http://milis_penyair.com).
Puisi dianggap tidak mampu
beradaptasi ketika berada di tempat-tempat umum. Daya hidupnya terbatas hanya
di lingkungan peminatnya saja, sedangkan untuk peminat puisi itu sendiri begitu
sulit untuk ditemukan dalam jumlah banyak, dan keberadaannya pun tidak tersebar
secara merata dalam masyarakat. Mereka umumnya tergabung dalam sebuah wadah
khusus seperti komunitas tertentu yang sengaja dibentuk sebagai tempat untuk
mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan puisi. Jadi, dengan demikian puisi
cenderung bersifat pasif, sehingga eksistensi puisi tidak dapat secara langsung
bersentuhan dengan masyarakat umum. Perlu pendekatan yang intens terlebih
dahulu untuk dapat mengapresiasi puisi. sedangkan umumnya masyarakat awam
adalah orang-orang yang memandang sebuah karya seni hanya dari sisi praktisnya
saja, tanpa perlu bersusah payah untuk dapat memahaminya. Hal ini diungkapkan
oleh Haidy dalam tulisannya yang berjudul “Puisi Populer, Kenapa Tidak?” (penyair@yahoogroups.com,
Desember 2005) dalam tulisannya yang membahas karya populer.
Puisi
populer hanya suatu pengenalan, hal ini dilihat dari penggunaan kata yang
cenderung tidak dapat menimbulkan asosiasi bagi pembacanya untuk melakukan
perenungan terhadap kedalaman isi puisi tersebut. Puisi populer merupakan suatu
karya puisi yang tidak mempunyai bentuk (formless)
seperti halnya pada puisi-puisi karya sastra agung, sehingga puisi populer terkesan
tidak memerhatikan unsur yang lain dan hanya mementingkan makna. Selain itu,
tema yang disajikan juga berkenaan masalah-masalah yang sering kali ditemukan
di lingkungan masyarakat pada umumnya. Meskipun lebih banyak mengemukakan
tema-tema yang remeh, tetapi masalah yang diangkat dalam puisi populer itu
sangat penting. Oleh karena itu, puisi populer justru dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat karena sifatnya yang mampu relevan dengan situasi yang sedang
berkembang di masyarakat. Berikut contoh-contoh puisi populer.
MAKNA CINTA
Seribu kata, selaksa makna
Berisikan tentang sebuah cinta
Kisah yang menjelang sepenuh cinta
Dalam luka maupun duka
Kasih dan setia adalah…
Bumbu dalam cinta
Sedang kecewa dan merana adalah…
Racun dalam cinta
(Nita, Puisi Karya Pendengar Radio Priadona Pontianak, 2008)
LUKA
Yang aku mau
Jika memang tetes merah itu
luka
Biar aku saja yang punya
Jangan dia
Jangan juga kau
(Monita Gunawan, Anggota Group www.cafenovel.com
di facebook.om, 2009)
Puisi-puisi
di atas semuanya bertema cinta, hal ini tentunya menggambarkan bahwa
puisi-puisi populer cenderung atau pada umumnya menyajikan masalah yang sering
kali dapat ditemukan di lingkungan masyarakat. Selain itu, secara khusus dapat
menggambarkan suatu perihal yang pernah dialami oleh tiap individu.
Apabila dilihat dari kriteria puisi
populer itu sendiri mampu relevan dengan situasi dan kondisi yang sedang
berkembang luas, sehingga eksistensinya dapat bersentuhan langsung dengan
masyarakat umum. Melecehkan karya-karya populer bukanlah suatu sikap yang
bijaksana. Hal ini ditegaskan oleh Mahayana (2005:320) bahwa karya-karya
populer sebagai produk kebudayaan massa
juga merupakan bagian dari realitas sosial, dokumen sosial yang menggambarkan
kehidupan sebagian masyarakat.
Puisi populer sebagai bagian dari
kebudayaan rendah (low culture) ini
sesungguhnya dapat berperan meningkatkan minat baca masyarakat umum, yang telah
terbiasa dimanjakan oleh rangsangan inderawi untuk menikmati seni. Mengingat karya
populer adalah suatu karya yang dapat langsung dimengerti dan cepat dipahami
oleh masyarakat umum, tapi bukan berarti kualitasnya tidak diperhitungkan
(Hady, Milis Penyair; www.yahoo.com, 22 Desember
2005). Dengan demikian dengan adanya puisi populer diharapkan dapat
meningkatkan minat masyarakat terhadap seni khususnya sastra.
2.4 Semiotik
Teori
struktural dan semiotik merupakan satu di antara teori-teori sastra (kritik
sastra). Teori struktural dan semiotik adalah penerapan dari teori kritik
sastra objektif. Dikemukakan Abrams (Pradopo, 2005:140) bahwa ada empat
pendekatan terhadap karya sastra, yaitu sebagai berikut.
1) pendekatan
mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan), 2)
pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk
mencapai tujuan tertentu, 3) pendekatan ekspresif yang menganggap karya sastra
sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman penyair (sastrawan),
dan 4) pendekatan objektif yang
menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, terlepas dari alam
sekitarnya, pembaca, dan pengarang.
Maka dalam kajian ini yang penting
adalah karya sastra sendiri, yang khusus dianalisis struktur intrinsiknya.
Untuk menganalisis struktur sistem tanda ini perlu adanya kritik struktural
untuk memahami makna tanda-tanda yang terjalin dalam (struktur) tersebut. Oleh
karena itu, analisis semiotik tidak dapat dipisahkan oleh analisis struktural. Hal
ini dikarenakan karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna
(Pradopo, 2005:140).
Karya sastra merupakan sebuah
struktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (puisi)
haruslah puisi dianalisis. Namun sebuah analisis yang tidak tepat hanya akan
menghasilkan kumpulan fragmen atau bagian-bagian yang tidak saling berhubungan.
Unsur-unsur sebuah koleksi bukanlah bagian-bagian yang sesungguhnya. Sehingga dalam
analisis puisi bagian itu haruslah dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan.
Sajak itu adalah struktur yang merupakan susunan keseluruhan yang utuh,
bagian-bagiannya saling erat berhubungan. Tiap unsur dalam situasi tertentu
tidak mempuyai arti dengan sendirinya, melainkan artinya ditentukan oleh
hubungannya dengan unsur-unsur lainnya yang terlibat dalam situasi itu. Makna penuh
suatu satuan atau pengalaman dapat dipahami hanya jika terintegrasi ke dalam
struktur yang merupakan keseluruhan dalam satuan-satuan itu. Unsur-unsur
struktur itu satu sama lain memiliki koherensi atau pertautan yang erat,
unsur-unsur itu tidak otonom, melainkan bagian dari situasi yang saling
berhubungan dengan situasi yang lain, unsur itu mendapatkan artinya. Jadi,
untuk memahami sajak harus diperhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya
sebagai bagian dari keseluruhan.
Menurut Pradopo (2005:119) semiotik
adalah ilmu tentang tanda-tanda. Penelitian sastra dengan menggunakan
pendekatan semiotik ini sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan
strukturalisme. Studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis
sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menetukan konvensi-konvensi yang
memungkinkan sebuah teks karya sastra mempunyai suatu arti. Seperti yang telah
dijelaskan di atas bahwa analisis semiotik tidak dapat dipisahkan dengan
analisis secara struktural, begitu juga sebaliknya strukturalisme tidak dapat
dipisahkan dari analisis semiotik, karena karya sastra itu merupakan struktur
tanda-tanda yang bermakna.
Semiotik juga menganut dikotomi
bahasa yang dikembangkan de Saussure, yaitu karya sastra memiliki hubungan
antara dua aspek yaitu penanda (signifier)
dan petanda (signified) (Endraswara,
2003:64). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut
petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu
artinya. Contohnya kata ‘ibu’ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai
arti: ‘orang yang melahirkan kita’. Tanda itu tidak satu macam saja, tetapi
berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya, jenis-jenis tanda yang
utama adalah ikon, indeks, dan simbol.
Ikon
adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara
penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, contohnya
‘tikus’ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: ‘jenis hewan
pengerat pengganggu’ menandai kuda sebagai artinya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan kausal
(sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api. Simbol adalah tanda yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, contohnya: ‘Ini
muka penuh luka’ secara alamiah menandai muka atau wajah yang cacat karena
dipenuhi oleh luka. Namun dapat berarti luas, muka yang jelek, buruk rupa,
keadaan diri yang penuh kejelekan, banyak kekurangan, banyak melakukan
kesalahan baik kepada diri sendiri maupun orang lain, banyak persoalan atau
permasalahan hidup yang sangat pelik yang sulit untuk diselesaikan, hidup penuh
dengan perbuatan dosa, banyak melakukan perbuatan tercela yang tidak sesuai
dengan norma-norma. Jadi, kata-kata ‘muka penuh luka’ menyimbolkan kehidupan
seseorang yang penuh dengan persoalan pelik dan penuh dosa.
Semiotika atau studi tentang sistem
pelambangan itu disebut juga dengan signal
atau sistem tanda (Aminuddin, 1995:44-47).
Tanpa memerhatikan sistem tanda, tanda dan maknanya, dan konvensi tanda,
struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal. Semiotik
pada dasarnya mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi
tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam
cara (modus) wacana mempunyai makna. Tanda yang digunakan dalam penulisan karya
sastra, antara yang satu dengan yang lain membentuk hubungan secara sistematis.
Pemaknaan puisi juga erat kaitannya
dengan konvensi ketidaklangsungan ekspresi. Karya sastra merupakan ekspresi
yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak
langsung, dengan cara lain. Menurut Riffaterre (Pradopo, 2005:124) ketidaklangsungan
ekspresi disebakan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
Penggantian arti disebabkan oleh
penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra. Metafora dan metonimi ini
dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya, tidak terbatas
pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora
da metonimi ini merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga untuk
mengganti bahasa kiasan lainnya, disamping jenis bahasa kiasan lainnya, yaitu
simile (perumpamaan), perbandingan epos, allegori, personifikasi, dan sinekdoki.
Penyimpangan arti dalam karya sastra
disebabkan oleh ambiguitas pada bahasa puisi yang memiliki arti ganda,
kontradiksi pada bahasa puisi yang mengandung pertentangan atau berlawanan, dan
nonsense adalah “kata-kata” yang
secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi.
Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual
yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam
sajak (karya sastra). Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di
luar linguistik.
Sesuai dengan teori
strukturalisme-semiotik, kajian sastra, khususnya puisi, memerlukan metode
analisis itu dengan pemaknaan sebagai berikut (Pradopo dalam Jabrohim, Ed, 2003:94-95).
1)
Sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dengan
memerhatikan saling hubungan antar unsur-unsurnya dengan keseluruhannya.
2)
Tiap unsur sajak itu dan keseluruhannya diberi makna
sesuai dengan konvesi puisi.
3)
Setelah sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya
dilakukan pemaknaannya, sejak dikembalikan kepada makna totalitasnya dalam
rangka semiotik.
4)
Untuk pemaknaan itu diperlukan pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau pembacaan retroaktif.
Untuk memberi makna secara semiotik,
dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik
dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5-6;
Pradopo, 2005:134). Dalam pembacaan heuristik, sajak dibaca berdasarkan
struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti apabila perlu diberi sisipan
kata atau sinonim kata-katanya ditaruh dalam tanda kurung. Begitu juga,
struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), dan
apabila perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti. Pembacaan heuristik pada
penggalan puisi Subagio Sastrowardojo “Dewa Telah Mati” (Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya, 2003) ebagai berikut.
Tak
ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya
gagak yang mengakak malam hari
Dan
siang terbang mengitari bangkai
pertapa
yang terbunuh dekat kuil
Pembacaan
heuristik penggalan puisi di atas sebagai berikut: “di rawa-rawa ini tak
ada dewa, (yang ada) hanya gagak yang mengakak (bergaok-gaok) pada malam hari,
dan di waktu siang hari (gagak itu) terbang mengitari bangkai pertapa yang
terbunuh (di) dekat kuil”. Pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak
yang sebenarnya. Pembacaan ini terbatas pada pemahaman terhadap arti bahasa
sebagai sistem semiotik tingkat pertama, yaitu berdasarkan konvensi bahasanya.
Sedangkan pada pembacaan hermeneutik merupakan penafsiran berdasarkan konvensi
sastra (puisi), yaitu semiotik tingkat kedua. Konvensi yang memberi makna itu
di antaranya konvensi ketidaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak.
Pembacaan
hermeneutik penggalan puisi “Dewa Telah Mati” karya Subagio Sastrowardojo itu
sebagai berikut: “di tempat-tempat penuh kemaksiatan (rawa-rawa ini) Tuhan
tidak dipercayai lagi oleh orang-orang (manusia). Di tempat yang penuh
kemaksiatan ini hanya orang-orang jahat (koruptor, penjilat, perampok, dan
sebagainya). Orang-orang jahat (gagak) tersebut melakukan kejahatan atau
bersimarajalela (mengakak) di masa kacau, masa gelap (malam hari). Mereka
(orang-orang jahat itu) beramai-ramai mengelilingi harta yang haram (bangkai)
milik orang-orang suci (pertapa, para pemeluk agama) yang ingkar (pada
hakikatnya sudah mati), mereka terbunuh (oleh kejahatan) di dekat tempat
sucinya, tempat peribadatannya (kuil, gereja, masjid, dan lain-lain)”.
Pembacaan hermeneutik ini sudah mencapai proses penafsiran terhadap makna yang
sebenarnya pada teks.
Catatan:
Karya tulisa ilmiah, dalam tiap bagiannya, secara keseluruhan pada baris kalimatnya berjarak 2 spasi, terkecuali untuk tulisan yang berupa kutipan langsung lebih dari 4 baris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar