Tri Harun Syafii. Seperti pernah diungkapkan M. Syahrizal
dalam artikelnya pekan lalu, mengenai merebaknya bahasa alay menjadi budaya
bahasa yang berdampak terhadap kegadisan bahasa Indonesia, kini menjangkit
menjadi virus yang mematikan. Bahkan pemakaian bahasa alay menjadi bahasa yang
membudaya di Indonesia, khusunya dikalangan remaja yang menjadi penerus majunya
bangsa ini.
Tidak jauh berbeda dengan hal bahasa alay, ternyata bahasa
gaul juga menyorot perhatian anak remaja di Indonesia. Pemakaian bahasa gaul
sepertinya memijak posisi Bahasa Indonesia sekaligus merusak keperawanannya.
Kita tahu, bahasa gaul bukanlah bagian dari Bahasa Indonesia. Bahkan lahirnya
bahasa gaul, tidak jelas dari mana asalnya, siapa Ayah dan Ibunya dan siapa
nenek moyangnya. Bahasa gaul begitu menyorot perhatian kalangan anak muda. Tak
heran posisinya semakin lama terus menggeser kedudukan Bahasa Indonesia sebagai
identitas bangsa. Bahkan virus ini menjadi penyebab Bahasa Indonesia terjangkit
gizi buruk.
Jelaslah, eksistensi bahasa gaul lebih menyorot perhatian
dikalangan anak muda seperti : Loe, Gue,
End! dan lain sebagainya. Tiga kata ini menjadi penyebab gizi buruk Bahasa
Indonesia. Loe yang menyatakan kamu, Gue yang menyatakan saya dan End yang
menyatakan selesai, kini berkembang luas di masyarakat, khusunya di sekumpulan
anak muda yang seharusnya membawa perubahan ke arah yang lebih maju, malah
terkena virus mematikan. Bahkan lebih parah lagi bahasa gaul ini
dicampur-adukkan dengan Bahasa Indonesia yang susunannya sudah cukup sistematis
dalam berbahasa. Anak Muda penyebab Utamanya Dampak negatif dari bahasa gaul
atau bahasa alay justru membuat para pecinta Bahasa Indonesia menjadi gerah.
Pasalnya penggunaan bahasa ini lebih memainkan popularitasnya ketimbang
kualitas yang dimiliki. Kualitas Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa
yang peminatnya cukup banyak di dunia, kini dicoret oleh kalangan remaja
Indonesia yang lebih memainkan kreativitas yang asal-asalan. Merebaknya bahasa Loe, Gue, End menjadi bintang di
kalangan anak remaja.
Untuk memainkan popularitasnya, bahasa ini menjadi objek
sebuah produk iklan (maaf, disamarkan) di televisi. Kita tahu peran media
seperti televisi harusnya membawa dampak positif, bukan memberikan sumbangan
menjadi wabah penyakit terhadap Bahasa Indonesia. Memang kreativitas itu perlu
dalam sebuah produk iklan, untuk membujuk konsumen membeli produknya.
Secara sadar atau tidak sadar, peranan iklan dalam sebuah produk yang membawa Loe, Gue, End! menjadi merusak kualitas Bahasa Indonesia. Terbukti setelah seminggu iklan ini terbit, anak remaja ikut mempraktekkan gaya bahasa dari iklan itu. Inilah yang dikhawatirkan akan berdampak negatif di kalangan masyarakat. Bukankah remaja itu lebih suka mencontoh sesuatu yang dianggap baru dan populer? Mengapa sampai merusak keperawanan Bahasa Indonesia ? Siapa yang bertanggung jawab terhadap virus ini?
Secara sadar atau tidak sadar, peranan iklan dalam sebuah produk yang membawa Loe, Gue, End! menjadi merusak kualitas Bahasa Indonesia. Terbukti setelah seminggu iklan ini terbit, anak remaja ikut mempraktekkan gaya bahasa dari iklan itu. Inilah yang dikhawatirkan akan berdampak negatif di kalangan masyarakat. Bukankah remaja itu lebih suka mencontoh sesuatu yang dianggap baru dan populer? Mengapa sampai merusak keperawanan Bahasa Indonesia ? Siapa yang bertanggung jawab terhadap virus ini?
Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. seharusnya lebih
dijaga kelestarian dan kualitasnya. Jangan sampai virus seperti Loe, Gue, End
menjadi penyebab rusaknya Bahasa Indonesia itu secara perlahan. Seperti yang
pernah diungkapkan M. Syahrizal, Bahasa alay dapat merusak citraan penggunaan
bahasa Indonesia yang tersusun secara sistematis.
Bukan hanya Bahasa Indonesia yang memiliki Kamus Besar,
bahasa alay atau bahasa gaul pun turut menaikan popularitasnya untuk membuat
Kamus Besar. Ini wabah sangat buruk jika tercipta Kamus Besar Bahasa Alay dan
Bahasa Gaul.
Siapa bertanggung jawab atas hal ini? Jawabannya terletak
pada diri kita masing-masing. Sudahkah Bahasa Indonesia kita lestarikan atau
belum? Bahasa yang peranannya tidak terlepas dari budaya, sudah sepantasnya
kita lestarikan dan kita jaga. Jangan sampai bahasa dan budaya kita menjadi
bahan perbincangan negatif bagi bangsa lain, akibat perbuatan kita sendiri.
Semua Bangsa Indonesia harus bertanggung jawab atas hal ini.
Idiom menyatakan, Negara yang besar adalah Negara yang mampu menjunjung tinggi
bahasa dan budaya. Bukankah kesetian terhadap bahasa menunjukkan suatu sikap
hal yang positif. Seperti dikemukakan Garvin dan Mathiot (1972), terdapat tiga
ciri pokok bahasa ditandai dengan : kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride) dan yang terakhir norma bahasa (awareness of the norm). Tiga hal ini
sudah mampu membimbing kita serta memberikan penjelasan, kita harus cinta
terhadap bahasa kita sendiri. Bangsa Indonesia harus setia terhadap Bahasa
Indonesia. Mengapa demikian, karena kesetiaan terhadap bahasa dapat memberikan
dorongan yang kuat agar suatu bangsa dapat mempertahankan bahasanya supaya
dapat mencegah masuknya bahasa lain. Kebanggaan bahasa dapat mendorong orang
mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan
kesatuan masyarakat.
Begitu juga dengan kesadaran akan adanya norma dapat
mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat, teliti, tepat, santun dan
layak. Kesadaran ini akan menjadi penentu prilaku tutur dalam wujud penggunaan
bahasa, (Gereda 2010). Dari itu, untuk menjaga kelestarian Bahasa Indonesia
sudah sewajarnya kita menggunakan Bahasa Indonesia yang benar dan baik dalam
kehidupan sehari-hari tanpa mencampurkan bahasa alay dan bahasa gaul ke dalam
bahasa Indonesia, yang akan menjadi wabah penyakit berbahaya.
Jangan lagi menggunakan bahasa yang tak sewajarnya
dicampurkan ke dalam Bahasa Indonesia. Apa salahnya kita menggunakan ‘kamu’ dan
‘aku’ dari pada kita berbahasa dengan logat ‘loe’ dan ‘gue’ yang merusak
popularitas Bahasa Indonesia. Terutama kepada anak muda yang menggunakan bahasa
gaul dan bahasa alay dalam hal berbicara maupun mengirim pesan. Adakah lebih
baik, anak muda berbicara dengan Bahasa Indonesia yang kadar kesopanannya lebih
tinggi dari pada bahasa gaul dan bahasa alay yang justru mendidik anak muda
menjadi tidak berkarakter. Inilah permasalahan yang solusinya harus kita
pikirkan bersama.
Banyak menganggap, bangsa ini sudah tidak bermoral lagi
dalam segi berbahasa. Bahkan prilaku anak muda sekarang terlihat lebih sombong
karena pemakaian bahasa Loe, Gue, End. Misalnya, "masalah buat loe
?". Terlihat jika dikaji lebih dalam, eksistensi bahasa ini, lebih
meningkat tajam pemakaiannya di kalangan anak muda zaman sekarang. Bukankah
sikap seperti ini berdampak negatif bagi bangsa karena bahasa Loe, Gue
mengandung aroma kesombongan. Biasanya bahasa ini sering digunakan anak remaja
di daerah Jakarta sebagai komunitas bahasa gaul mereka. Lagi-lagi ini berdampak
negatif buat Bangsa Indonesia. mengapa?
Indonesia yang dikenal karena keramahannya dalam bertutur
sapa, kini tercoreng akibat merebaknya bahasa gaul di kalangan anak muda yang
mencampurkan keramahan menjadi sebuah kesombongan.
Jika tak segera diatasi, wabah penyakit bahasa gaul dan
bahasa alay akan merusak sistem kekebalan Bahasa Indonesia. Jangan sampai
bahasa kita tercoreng begitu saja, akibat ulah manusia tak bertangung jawab,
menyuntikkan virus bahasa gaul dan bahasa alay ke dalam tubuh Bahasa Indonesia.
Sulit menghilangkan racun itu. Cara penanganan sedikit demi
sedikit dapat membantu kita membuang virus yang menyebabkan gizi buruk terhadap
bahasa Indonesia. Salah satu solusi paling ampuh ialah dengan tidak menggunakan
bahasa yang menjadi virus dan menggantinya dengan memakai Bahasa Indonesia yang
benar dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa tidak mencobanya?
Penulis: merupakan kader anggota UKMI Ar-Rahman FBS, Unimed
Penulis: merupakan kader anggota UKMI Ar-Rahman FBS, Unimed
Tidak ada komentar:
Posting Komentar